Mengenal Suku Ambon

RUMAH ADAT AMBONAmbon adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di Provinsi Maluku. Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku.
Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik.
Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti berlayar dan bernenang.
Pendukung kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satunya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku.
KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumahrumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.
MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa.
Sagu adalah makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental (pepedu).
Disamping pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan. Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orangorang ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina dinamakan jungku atau orambi.
AGAMA DAN ADAT
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.
Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati diantara sesama dan antar sesama umat beragama.
Read more

Nasi Bebek (Surabaya)

Nasi Bebek Surabaya
Bahan Bebek Surabaya :
  1. 1 ekor bebek muda, potong 4 bagian
  2. 1 liter air
  3. Minyak goreng secukupnya

Bumbu Bebek Surabaya yang dihaluskan :
  1. 6 butir bawang merah
  2. 4 siung bawang putih
  3. 1 sdm ketumbar sangrai
  4. 4 cm kunyit
  5. 3 cm jahe
  6. 3 cm lengkuas
  7. 1 ½ sdt garam
  8. ¼ sdt kaldu bubuk(jika suka)

Bahan Pelengkap Bebek Surabaya :
  1. Nasi putih
  2. Selada keriting
  3. Mentimun
  4. Kemangi
  5. Kol

Bahan Sambal Rawit :
  1. 15 buah cabai rawit hijau
  2. ½ sdt garam
  3. 2 sdm minyak bekas menggoreng bebek.

Cara membuat Bebek Surabaya :
  1. Campur bebek, air, bumbu yang dihaluskan. Masak hingga bebek empuk. Angkat.
  2. Goreng bebek yang sudah direbus hingga garing. Angkat, tiriskan.
  3. Sambal rawit : haluskan cabai rawit dan garam, tambahkan minyak bekas menggoreng, aduk rata.
  4. Tata nasi diatas piring. Beri bebek goreng. Siapkan dengan sambal rawit dan lalap pelengkapnya.
  5. Nasi Bebek Surabaya siap disantap.
Read more

Sejarah Lahirnya Hari Ibu Di Indonesia


Lahirnya Hari Ibu di Indonesia Ayahbunda.co.id

Setiap tanggal 22 Desember, seluruh masyarakat Indonesia merayakan Hari Ibu. Sebuah peringatan terhadap peran seorang perempuan dalam keluarganya, baik itu sebagai istri untuk suaminya, ibu untuk anak-anaknya, maupun untuk lingkungan sosialnya. Tahukah Anda sejarah Hari Ibu sampai ditetapkan sebagai perayaan nasional?
Peringatan Hari Ibu diawali dari berkumpulnya para pejuang perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra dan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Salah satu hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Namun penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Bahkan, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember ini sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.

Para pejuang perempuan tersebut berkumpul untuk menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Para feminis ini menggarap berbagai isu tentang persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan kaum perempuan. Tak hanya itu, masalah perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan masih banyak lagi, juga dibahas dalam kongres itu. Bedanya dengan jaman sekarang, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis untuk perkembangan perempuan, tanpa mengusung kesetaraan jender.

Penetapan Hari Ibu ini diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Selain itu, Hari Ibu juga merupakan saat dimana kita mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini.

Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu. Berbagai kegiatan dan hadiah diberikan untuk para perempuan atau para ibu, seperti memberikan kado istimewa, bunga, aneka lomba untuk para ibu, atau ada pula yang membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari. 
ref:http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/keluarga/psikologi/lahirnya.hari.ibu.di.indonesia/001/007/528/1/1
Read more

Peristiwa RengasDengklok

Peristiwa Rengasdengklok


Di setiap momen peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, kita diingatkan lagi oleh satu peristiwa yang mengawali proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yaitu Peristiwa Rengasdengklok. Tanpa peristiwa itu, barangkali kita tidak akan merdeka seperti saat ini. Atau kalau dengan bahasa yang agak bombastis “Tidak ada kemerdekan tanpa Peristiwa Rengasdengklok!”. Lalu, apa itu peristiwa Rengasdengklok? Mengapa terjadi ? Siapa yang terlibat ? Bagaimana hasilnya ? 
Peristiwa Rengasdengklok dimulai dari “penculikan” yang dilakukan oleh sejumlah pemuda (Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan Menteng 31) terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.
Letak RengasdengklokMenghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.
Kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik semakin jelas dengan dijatuhkannya bom atom oleh Sekutu di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasakipada tanggal 9 Agustus 1945. Akibat peristiwa tersebut, kekuatan Jepang makin lemah. Kepastian berita kekalahan Jepang terjawab ketika tanggal 15 Agustus 1945dini hari, Sekutu mengumumkan bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat dan perang telah berakhir.
Berita tersebut diterima melalui siaran radio di Jakarta oleh para pemuda yang termasuk orang-orang Menteng Raya 31 seperti Chaerul Saleh, Abubakar Lubis, Wikana, dan lainnya. Penyerahan Jepang kepada Sekutu menghadapkan para pemimpin Indonesia pada masalah yang cukup berat. Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Jepang masih tetap berkuasa atas Indonesia meskipun telah menyerah, sementara pasukan Sekutu yang akan menggantikan mereka belum datang. Gunseikan telah mendapat perintah-perintah khusus agar mempertahankanstatus quo sampai kedatangan pasukan Sekutu. Adanya kekosongan kekuasaan menyebabkan munculnya konflik antara golongan muda dan golongan tua mengenai masalah kemerdekaan Indonesia.
Golongan muda menginginkan agar proklamasi kemerdekaan segera dikumandangkan. Mereka itu antara lain Sukarni, B.M Diah, Yusuf Kunto, Wikana, Sayuti Melik, Adam Malik, dan Chaerul Saleh. Sedangkan golongan tua menginginkan proklamasi kemerdekaan harus dirapatkan dulu dengan anggota PPKI. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Moh. Yamin, Dr. Buntaran, Dr. Syamsi dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Golongan muda kemudian mengadakan rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul 20.00 WIB.
Rapat tersebut dipimpin oleh Chaerul Saleh yang menghasilkan keputusan tuntutan-tuntutan golongan muda yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hal dan soal rakyat Indonesia sendiri, tidak dapat digantungkan kepada bangsa lain. Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan harus diputus, dan sebaliknya perlu mengadakan perundingan dengan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta agar kelompok pemuda diikutsertakan dalam menyatakan proklamasi.
Langkah selanjutnya malam itu juga sekitar jam 22.00 WIB Wikana dan Darwis mewakili kelompok muda mendesak Soekarno agar bersedia melaksanakan proklamasi kemer-dekaan Indonesia secepatnya lepas dari Jepang.
Ternyata usaha tersebut gagal. Soekarno tetap tidak mau memproklamasikan kemerdekaan. Kuatnya pendirian Ir. Soekarno untuk tidak memproklamasikan kemerdekaan sebelum rapat PPKI menyebabkan golongan muda berpikir bahwa golongan tua mendapat pengaruh dari Jepang.
Selanjutnya golongan muda mengadakan rapat di Jalan Cikini 71 Jakarta pada pukul 24.00 WIB menjelang tanggal 16 Agustus 1945. Mereka membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Rapat tersebut menghasilkan keputusan bahwa Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta harus diamankan dari pengaruh Jepang. Tujuan para pemuda mengamankan Soekarno Hatta ke Rengasdengklok antara lain:
  • agar kedua tokoh tersebut tidak terpengaruh Jepang, dan
  • mendesak keduanya supaya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia terlepas dari segala ikatan dengan Jepang.
Thriller Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 16 Agustus 1945 pagi, Soekarno dan Hatta tidak dapat ditemukan di Jakarta. Mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, di antaranya Sukarni, Yusuf Kunto, dan Syudanco Singgih, pada malam harinya ke garnisun PETA (Pembela Tanah Air) di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak sebelah Utara Karawang.
Pemilihan Rengasdengklok sebagai tempat pengamanan Soekarno Hatta, didasarkan pada perhitungan militer. Antara anggota PETA Daidan Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak keduanya melakukan latihan bersama. Secara geografis, Rengasdengklok letaknya terpencil, sehingga dapat dilakukan deteksi dengan mudah setiap gerakan tentara Jepang yang menuju Rengasdengklok, baik dari arah Jakarta, Bandung, atau Jawa Tengah. Mr. Ahmad Subardjo, seorang tokoh golongan tua merasa prihatin atas kondisi bangsanya dan terpanggil untuk mengusahakan agar proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan secepat mungkin. Untuk tercapainya maksud tersebut, Soekarno Hatta harus segera dibawa ke Jakarta.
Akhirnya Ahmad Subardjo, Sudiro, dan Yusuf Kunto segera menuju Rengasdengklok. Rombongan tersebut tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB. Peranan Ahmad Subardjo sangat penting dalam peristiwa kembalinya Soekarno Hatta ke Jakarta, sebab mampu meyakinkan para pemuda bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan keesokan harinya paling lambat pukul 12.00 WIB, nyawanya sebagai jaminan. Akhirnya Subeno sebagai komandan kompi Peta setempat bersedia melepaskan Soekarno Hatta ke Jakarta.
Setelah sampai Jakarta pada pukul 23.00, rombongan meminta ijin kepada Jenderal Nishimura untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun Nishimura menolak permintaan tersebut dengan alasan bahwa Indonesia masih dalam status quo, artinya belum ada penyerahan kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu. Karena ditolak, maka usaha mempersiapkan proklamasi dilakukan di rumah Laksamana Tadashi Maeda, seorang perwira Angkatan Laut Jepang. Mengapa di rumah Maeda ? ada dua alasan :
  1. Laksamana Maeda mendukung perjuangan Bangsa Indonesia
  2. Faktor Keamanan : Hak prerogatif  kekuasaan wilayah militer angkatan laut yang tidak dapat diganggu gugat oleh angkatan Darat.
Laksamada Maeda

Dalam proses penyusunan naskah proklamasi, ada tiga tokoh yang terlibat yaitu :

  1. Ir. Soekarno
  2. Mohammad Hatta
  3. Ahmad Subardjo
Ahmad Subardjo
Ketiga tokoh bermusyawarah tentang naskah proklamasi yang akan disusun untuk dibacakan keesokan harinya. Ada dinamika yang berkembang dalam musyawarah itu terkait dengan redaksional naskah proklamasi yaitu :
  • Ahmad Subardjo mengusulkan kalimat yang ada di alinea pertama proklamasi yang intinya kemerdekaan Indonesia adalah kemauan  Bangsa  Indonesia  untuk  merdeka dan  menentukan nasib  sendiri
  • Drs. Muhammad Hatta mengusulkan kalimat untuk alinea kedua yang berkisar pada masalah pengalihan/pemindahan kekuasaan
Teks Naskah Setelah Pengetikan
Oleh Sukarno, kedua usul itu kemudian dirangkai dalam sebuah tulisan tangan yang kemudian diketik oleh Sayuti Melik. Namun antara tulisan tangan dan ketikan ada sedikit perbedaan yaitu :


  1. Kata “tempoh” diubah menjadi “tempo”
    Sayuti Melik, Pengetik Naskah Proklamasi
  2. Kata “wakil-wakil bangsa indonesia” pada  bagian akhir diganti menjadi“atas nama bangsa indonesia”.
  3. Cara menulis tanggal “djakarta, 17-8-05” diganti menjadi “djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”


Ref:http://ips-abi.blogspot.com/2013/07/peristiwa-rengasdengklok.html
Read more

10 november / hari pahlawan

Peristiwa 10 November merupakan peristiwa sejarah perang antara Indonesia dan Belanda. Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA(Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.

Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda, Merah-Putih-Biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober.

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk.

Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.

Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.

Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kiyai-kiyai pondok jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiyai)juga ada pelopor muda seperti bung tomo dan lainnya. sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.

Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

ref:http://gudang-sejarah.blogspot.com/2009/01/sejarah-hari-pahlawan.html
Read more

Kerajaan Banggai

Setiap Komunitas Masyarakat pada Masa ke masa memiliki ikatan emosional yang kuat, balk karena kesamaan Adat Istiadat, maupun karena di satukan oleh kondisi Giografis Banggai adalah salah satu di antara Komunitas yang telah eksis ratusan Tahun yang lalu sebelum Kerajaan Banggai secara resmi terbentuk pada Tahun 1600 M.
Pada masa pra Kerajaan Banggai di wilayah kekuasan Kerajaan Banggai berdiri empat buah Kerajaan yang memiliki Wilayah dan berdaulat atas wilayahnya. Empat Kerajaan dimaksud adalah Babolau berkedudukan di Babolau ± 5 km dari Desa Tolise Tubono, Kokini berkedudukan di Desa lambako, Katapeanberkedudukan di desa Sasaban ± 5 km dari Desa Monsongan dan Singgolok berkedudukan di Bungkuko Tatandak ± 7 km dari Desa Gonggong Keempat Kerajaan tersebut hidup dalam suasana saling mencurigai bahkan cenderung bermusuhan sehingga sering terjadi peperangan antara keempat Kerajaan tersebut ini, masing -masing mempertahankan kedaulatannya dan tidak ada yang mengalah.
Dalam suasa bermusuhan ini datang seorang Pangeran penyembar Agam Islam dari Kerajaan Kediri yang bernama Tabea ADI COKRO ( Mbumbu doi Jawa ),atau di Banggai dikenal ADI SOKO menginjakkan kaki di Banggai sekitar Tahun 1580 M,kedataangan Adi Cokro di Pulau Banggai menemukan suasana Masyarakat yang saling bermusuhan antara Kerajaan Babolau, Kokini, Katapean, dan Kerajaan Singgolok maka sebagai seorang yang bijak timbullah niatannya untuk mempersatukan kerajaan yang saling bermusuhan tersebut. Adi Cokro selama tinggal di Banggai kawin dengan Putri Nurusjaffa salah seorang Putri Kerajaan Singgolok, dan Putri Kerajaan Babolau bernama Nursia Kutubuzzaman, perkawinan Adi Cokro dengan Nurussaffa KutubulQaus memperoleh seorang Putra bernama Abu Qasim dan perkawinan dengan Nursia Kutubuzzaman memperoleh anak bernama Putri Saleh. Namun sebelum beliau pergi ke Banggai, Adi Cokro pernah tinggal di Kerajaaan Ternate dan sempat kawin dengan seorang Bangsawan bernama Castella berketurunan Portugis, dari perkawinan ini memperoleh seorang Putra Maulana Prins Mandapar dan pendekatan perkawinan Adi Cokro tersebut berhasil mempersatukan Empat Kerajaan tersebut dengan memberikan kewenangan untuk mengangkat Raja atau Tomundo. Empat Raja yang dipersatukan tersebut diberi gelar Basalo yang dikenal dengan " Basalo Sangkap " Pada masa inilah terbentuknya awal mula Kerajaan Banggai secara terorganisir.
KERAJAAN BANGGAI DARI TAHUN 1600 S/D SEKARANG
A.   Periode 1600 s/d 1939
Kesepakatan antara Adi Cokro dengan Basalo Babolau, Basalo Kokini, Basalo Katapean dan Basalo Singgolok belum diwujudkan dalam bentuk Kerajaan yang resmi tetapi stuktur Pemerintahan Kerajaan Banggai telah dipersiapkan oleh Adi Cokro. Sebagai penyebar Agama Islam Beliau kemudianmeninggalkan Banggai yang waktu itu belum ada penujukkan Raja Banggai yang resmi. Berdasarkan penunjukkan Basalo Sangkap Abu Qasim di tunjuk menjadi raja tetapi beliau tak bersedia karena usianya masih belia, maka berangkatlah Abu Qasim menemui ayahnya di Kerajaan Kediri untuk meminta pendapat dan kemudian di perintahkan oleh ayahnya untuk menjemput kakak tertuanya dari Ibu Castella di Ternate menjadi Raja diBanggai. Pada Tahun 1600 itulah Maulana Prins Mandapar dilantik (dilabuk) oleh Basalo Sangkap (Lembaga Tinggi Kerajaan Banggai) untuk menduduki Tahta Kerajaan dan berkuasa Tahun 1600 - 1630. Sejak Pemeritahan Raja Banggai Pertama Raja Prins Maulana Mandapar sampai dengan Raja Banggai Ke - 19 Tomundo Awaludin Tahun 1925 - 1939 pengangkatan Raja Banggai tidak menggenal Putra Mahkota tetapi berdasarkan Seba Khusus Basalo Sangkap yang memilih Putra - Putra terbaik keseluruh Baginsa (bangsawan) di luar Iingkungan Basalo Sangkap. Tradisi dan Ketentuan ini dipatuhi secara turun temurun selama ± 350 Tahun sampai terakhir Basalo Sangkap memilih dan Melantik Tomundo NURDIN DAUD pada Tahun 1939, sebagai Tomundo yang ke 20.
B.                     Priode Tomundo Nurdin Daud

Pada saat Tomundo Nurdin Daud di pilih oleh Basalo Sangkap, Beliau masih berumur ± 12 Tahun dari segi usia Tomundo Nurdin Daud belum dapatmelaksanakan tugas - tugasnya sebagai Raja / Tomundo sehingga Pemerintahan Kerajaan sempat mengalami kefakuman beberapa saat Iamanya.Kefakuman tersebut dirasakan oleh parangkat raja terutama Komisi Sangkap (Perangkat Kerjaaan) yang terdari Jogugu, Mayor Ngopa, Kapita Laut dan Hukum Tua. Atas dasar kondisi tersebut komisi sangkap berembuk untuk menunjuk salah seorang dari mereka bersedia menjadi pelaksana tugas - tugas Raja Nurdin Daud agar Pemerintahan dapat berjalanan dengan balk. Atas kesepakatan bersama di setujuilah H. Syukuran Aminuddin Amir yang menjabat sebagai Mayor Ngopa pada saat itu, atas persetujuan Basalo Sangkap yang diselesaikan Kontrolir Belandabernama DOOR MEYYER. Kesepakatan penunjukkan H. Syukuran Aminuddin Amir sebagai Pelaksana Tugas Raja Banggai di sertai dengan syarat bahwa setelah Tomundo Nurdin Daud telah berusia Dewasa, segala kewenangan dalam Tugas - tugas Raja di serahkan kembali kepada Tomundo Nurdin Daud. Pada saat Syukuran Aminudin Amir di tunjuk sebagai Pelaksana Tugas Raja Banggai beliau menyerahkan Jabatanya, Mayor ngopa kepada Zakaria Agama dan Tomundo Nurdin Daud di sekolahkan di Makasar. Sejak itulah Sejarah Kerajaan Banggai memasuki Babak baru. Raja Banggai yang secara turun temurun tinggal di Keraton Kerajaan Banggai dan mengendalikan Kerajaan dari Kota Banggai mulai dialihkan ke Kota Luwuk.
C.                    Masa Suram Batomundoan Kerajaan Banggai.
Penunjukan Syukuran Aminuddin Amir sebagai Pelaksana Tugas Raja Banggai telah merubah Tatanan Adat Banggai terutama dalam pengangkatan Raja Banggai yang definitive sesuai ketentuan yang telah dipatuhi turun temurun.
Syukuran Aminuddin Amir yang pada mulanya sebagai Pelaksana Tugas Raja Banggai telah menyatakan dirinya sebagai Tomundo atau Raja danbeliau tidak mengembalikan lagi, kewenangan dan tugas - tugas Raja yang dititipkan kepadanya. Secara dejure Syukuran Aminuddin Amirbukan Tomundo karena tidak pernah di pilih dan dilantik oleh BasaloSangkap sebagai pemegang kekuasaan mengangkat danmemberhentikan Raja / Tomundo tetapi pada kenyataannya Syukuran Aminuddin Amir telah menggelarkan dirinya TUTU / TOMUNDO atauRAJA. Perjalanan Sejarah Kerajaan Banggai mulai meninggalkan Tatanan - Tatanan " Prinsip " terutama dalam memilih Raja. Sementara Syukuran Aminuddin Amir menyampaikan pengaruhnya mulai kepada Masyarakat Banggai bahwa beliau adalah Raja / Tomundo Banggai. Dalam Komunikasi dengan Kerajaan - Kerajaan tetangga, pihak Belanda, Jepang maupun Pemerintah Republik Indonesia yang telah diprolamasikan Tahun 1945, Syukuran Aminuddin Amir telah mengatasnamakan Raja Banggai yang Devinitive dan telah mewakili Masyarakat Adat Banggai sebagai Tomundo atau Raja.
Sekalipun Syukuran Aminuddin Amir telah diakui oleh pihak lain sebagai Raja Banggai, tetapi Basalo Sangkap sebagai Lembaga tertinggi yang tetap hidup dalam Masyarakat Adat Banggai dan mempunyai tugas khusus mengangkat dan memberhentikan Raja, tidak mengakui Syukuran Aminuddin Amir sebagai Raja Banggai sesudah Nurdin Daud. Pada masaketidakpastian ini perubahan - perubahan di Negeri ini mulai bergulir masa transisi terjadi secara mendasar. Melalui Peraturan Pemerintah RI nomor 33 tanggal, 12 Agustus 1952 tentang penghapusan Daerah internal Federasi Kerajaan Banggai, menghapuskan peran Raja Banggai yang waktu itu di klaim olehSyukuran Aminuddin Amir dan sekaligus mengangkat Syukuran Aminuddin Amir sebagai Kepala Pemerintahan Negeri di wilayah Kerajaan Banggai.
Dalam suasana ini bekas Kerajaan Banggai telah di pimpin oleh seorang Pejabat Negeri yang di tunjuk Pemeritah RI tetapi Tatanan Adat Istiadat, Struktur Dan fungsi serta peran Adat di wilayah Kerajaan Banggai secara keseluruhan masih hidup terus dalam Masyarakat Adat Pulau Banggai, tempat kedudukanBasalo Sangkap (Lembaga Tinggi Kerajaan Banggai), Keraton Kerajaan Banggai dan Situs - Situs sejarah lainnya sebagai bukti lahirnya Kerajaan Banggai, tetap di pertahankan sebagai perangkat Adat Tinggi Kerajaan Banggai
Dalam suasana yang tidak menentu dan Kekerasan Masyarakat yang berlarut - larut, Basalo Sangkap selaku Lembaga Tinggi Adat Banggai dalam Seba luar bisa Tanggal, 25 Juni 2008 dengan berbagai pertimbagan tradisi kehidupan Adat Istiadat Banggai maka di putuskan untuk mengangkat kembali pemimpin Adat Budaya Banggai yang bergelar Tomundo sesuai Adat Istiadat Kerajaan Banggai, Keraton Banggai yang sempat terlantar bertahun - tahun masih menjadi tempat Sakral bagi Masyarakat Adat Banggai sekalipun Syukuran Aminuddin Amir yang memprokiamirkan dirinya Tomundo, tidak lagi memberi perhatian serius terhadap keberadaan Adat Istiadat Banggai bahkan cenderung ingin menghilangkan jejak Sejarah Banggai yang lahir di Kota Banggai.
D.   Pelurusan Sejarah Kerajaan Banggai
Melalui masa yang panjang ± 69 Tahun jejak Sejarah Kerajaan Banggai balk masih dalam masa swapraja maupun telah berubah menjadi sebuah Wilayah Kabupaten, Tatanan Adat Istiadat Banggai tetap bertahan hidup di tengah - tengah perubahan pola pikir masyarakat karena komunikasi antara Daerah mulai terbuka.
Kepemimpin dalam Adat Istiadat Banggai tetap memberi gelar Tomundo kepada pemangku Adat sepanjang pemimpin tersebut di pilih dan dilantik oleh Basalo Sangkap sesuai ketentuan Kerajaan Banggai. Dalam memilih Tomundo atau Raja yang kerajaan Banggai tidak pernah mengenal Putra Mahkota dan dalam penggantian 20 Raja Banggai tidak pernah terjadi putra Raja menggantikan Ayahnya secara Iangsung. Kehidupan Demokrasi ini telah menjadi bagian dari Prosesi Kepemimpinan Adat dalam seluruh tingkatan di Wilayah Kerajaan Banggai. Diakui atau tidak Syukuran Aminuddin Amir telah menjadi symbol Adat Masyarakat Banggai tetapi dalam ketetapan Basalo Sangkap Syukuran Aminuddin Amir bukan sebagai Tomundo yang Syah, karena beliau tidak pernah di pilih dalam Seba khusus maupun di lantik oleh Basalo Sangkap (Lembaga Tinggi Kerajaan Banggai).
Setelah Syukuran Aminuddin Amir meninggal Dunia Tahun 1986 Putra beliau bernama Moh. Chair Amir secara langsung menyatakan dirinya sebagai pewaris ayahnya dalam masalah Adat, bahkan menggelar dirinya sebagai Tomundo atau Raja. Untuk melegitimasi keinginanya tersebut maka Moh ChairAmir menggelar sebuah pertemuan tokoh Adat pada tanggal, 5 desember 1987 di Banggai sesuai Surat Pengukuhan yang di tanda tangani oleh yang mewakili suku Banggai, Suku Balantak dan Suku Saluan. Pengukuhan tersebut menyatakan Moh. Chair Amir sebagai Ketua Lembaga Musyawara Adat Banggai, tetapi bukan sebagai Tomundo karena tidak di kukuhkan oleh BasaloSangkap. Seperti ayahnya Moh. Chair Amir telah mewakili Masyarakat Adat Banggai dengan Pihak lainnya termasuk dalam kegiatan - kegiatan yang bersifat Politis, di antaranya Pemekaran Kabupaten Banggai Kepulauan yang sampai sekarang ini masih dalam ketidakpastian Ibu kota yang menimbulkan Instabilitas di dalam Masyarakat bahkan puncaknya terjadi penembakanMasyarakat Banggai oleh Polisi yang menewaskan 4 Orang dan 23 lainnya luka berat pada Tanggal, 28 Pebruari 2007, sebagai akibat dari Gejolak PemindahanIbukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke Salakan.

Dalam Suasana yang Kritis ini Moh Chair Amir sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Adat Banggai tidak pernah membantu menyelesaikan Konflik Horizontal antar Masyarakat. Bahkan pada saat masyarakat Banggai mencari kepastian hukum di Mahkama Konstitusi mengenai UU No. 51 Pasal 10 dan Pasal 11, Moh. Chair Amir yang bertindak sebagai pemohon kemudian mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas sehingga melahirkan Konflik baru oleh Masyarakat Banggai khususnya yang berdiam di Pulau Banggai dan Pulau Peling.
Dalam suasana yang tidak menentu dan dalam keresahan Masyarakat yang berlarut - larut, Basalo Sangkap (Lembaga Tinggi Adat Banggai) dalamSeba Luar Bisa tanggal, 25 Juni 2008 berdasarkan pertimbangan tradisi kehidupan Adat Istiadat Banggai maka diputuskan untuk mengangkat kembalipemimpin Adat Budaya Banggai yang bergelar Tomundo sesuai Adat Istiadat Kerajaan Banggai.
Sikap Basalo Sangkap mengangkat Tomundo Banggai ini tidak bertujuan mengembalikan kekuasan Kerajaan Banggai tetapi bertujuan untuk mengembalikan Sejarah Adat Istiadat Kerajaan Banggai sesuai Ketentuan para Leluhur untuk menyatukan Masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengembalian perjalanan Sejarah Banggai kepada alur perjalanan, Tomundo Nurdin Daud Raja ke - 20 di dasarkan pada bukti - bukti Sejarah yang masih di miliki, adat istiadat yang mengakar masih menjadi nilai - nilai Leluhur yang di taati oleh Masyarakat Banggai

Berbagai peninggalan sejarah masa lalu Kerajaan Banggai yang sekarangtersebar dan terpelihara dengan baik masih dapat di saksikan secara Iangsung bahkan hasil penilitian Lembaga Pengamatan Penelitian Keraton -Keraton se Nusantara ( LP2K ) tentang pengkajian pendataan keabsahan / eksistensi Keraton Kerajaan Banggai dan situs - situs yang membuktikan sebuah kerajaan yang pernah memiliki wilayah kekuasan pada masa lalu, telah memberikanlegitimasi keabsahan Kerajaan Banggai sebagai salah satu Kerajaan Nusantara berkedudukan di Banggai. Ini dibuktikan dengan dimasukannya Kerajaan Banggaisebagai Anggota Forum Silaturrahmi Keraton se - Nusantara (FSKN ) anggota 118 dan di tunjuk sebagai Koordinator Wilayah 18 FSKN Propinsi Sulawesi Tengah.
"yang tercacat dalam Sejarah Kerajaan Nusantara tulisan
Mpu Prapanca dengan Nama Kerajaan Benggawi."
wassalam
Banggai, 08 Zulkaidah 1429H 07 Nopember 2006M
BASALO SANGKAP
(LEMBAGA TINGGI KERAMAN BANGGAI)
Basalo Babolau                        Basalo Kokini                                     Basalo Singgolok Basalo Katapean
ADHAR HASUNAN MASYKUR ABDULLAH, BSc ADRIN KUNUT    HASAN KAEPA

i.          Pada tahun 1908 Kerajaan Banggai, yang wilayahnya meliputi seluruh jazirah Timur Pulau Sulawesi yang berbatasan dengan Poso dan pulau-pulau di sekitarnya, lepas dari statusnya sebagai kerajaan otonom di bawah Kesultanan Ternate dan mendapat status sebagai Zelf Besturende Lanschap. Pada saat inilah terbentuk "Pemerintahan Sulawesi dan Bawahannya (Govemement Celebes Onderhoorigheden) yang berlaku sampai tahun 1924, dan mempunyai beberapa afdeling antara lain Afdeling Oost Celebes di mana Lanschap Banggai atau Kerajaan Banggai masuk di dalamafdeling tersebut.
ii.        Setelah tahun 1924 Kerajaan Banggai dibagi menjadi 2 (dua)onderafdeling, yakni Onderafdeling Banggai Laut dengan Ibukota Banggai dan Onderafdeling Banggai Darat dengan Ibukota Luwuk. Raja Banggai tetap berkedudukan di Banggai sedangkan pemerintahan Belanda berkedudukan di Luwuk.
iii.      Di sekitar tahun 1924 itu pula Kerajaan Banggai kemudian dimasukkan ke dalam Afdeling Poso dengan nama Onderafdeling Banggai, yang masuk wilayah Keresidenan Menado berdasarkan stbld Nomor 365 juncto 366.
iv.      Pada masa Jepang, pada awalnya meskipun Ibukota Ondeafdeling Banggai tetap di Banggai oleh karena Jepang tetap qerkedudukan di Luwuk, Raja atau Tomundo diharuskan bertempat tinggal di Luwuk selama 3 (tiga) bulan dan di Banggai selama 3 (tiga) bulan.
v.         Kemudian Jepang mernindahkan secara 'permanen' Ibukota Banggai Ice Luwuk dengan sebutan "Banggai Ken", dan menempatkan seorang pejabat pemerintahan Jepang untuk wilayah Banggai (Laut, Banggai Kepulauan saat ini) yang disebut Bunken, dan menempatkan seorang Ken Kanrikan di Luwuk untuk menjalankan pemerintahan di Banggai darat (wilayah Kabupaten Banggai sat ini). Kerajaan tetap dipegang atau dijabat oleh Raja atau Tomundo yang oleh Jepang disebut SUCLI.
vi.      Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) Pemerintahan Swapraja
Kerajaan Banggai masuk bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT)
bersama 15 kerajaan lain di bawah Daerah Otonomi Sulawesi Tengah dengan kedudukan ibukota di Poso.
vii.    Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1952, Kerajaan Banggai menjadi bagian dari wilayah Pemerintahan Swatantra Tingkat II atau Kabupaten Poso, satu dari 'pemekaran' Otonomi Sulawesi Tengah menjadi dua Pemerintahan Swatantra Tingkat II (satu lagi yakni Kabupaten Donggala).
viii.  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, wilayah bekasOnderafdeling Banggai dilepaskan dari Kabupaten Poso, menjadiKabupaten Banggai dengan kedudukan ibukota di Luwuk.
ix.                Sejak jaman Jepang, yakni di masa pemerintahan raja Banggai terakhir pada masa kolonial almarhum Syukuran Aminuddin Amir (dikukuhkan menjadi RajaBanggai pada 1 Maret 1941), hingga penyerahan sepenuhnya pemerintahan dari Kerajaan Banggai yang diwakili oleh Raja Syukuran Aminuddin Amir kepada Bupati Bidin selaku Bupati Banggai Pertama tanggal 12 Desember 1959, Ibukota Kerajaan Banggai (dan selanjutnya Kabupaten Banggai) telah berkedudukan di Luwuk.
Hak-hak tradisional yang menjadi ide dasar disepakatinya Banggai sebagai Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan, maka masyarakat adat Banggai Kepulauan mengalami kerugian nyata khususnya dari aspek psikologi.
Mengakhiri pendapat hukum ini sambil menyatakan bahwa MahkamahKonstitusi dengan kewenangan konstitusionainya sebagai penjaga konstitusi adalah sangat berwenang melindungi hak konstitusional in casu hak konstitusional masyarakat adat Banggai akibat dari perbuatan pembentuk undang-undang a quoyang bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Implikasinya merugikan hak konstitusional masyarakat yang dijamin UUD 1945, sebagaimana terurai di atas.
Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih memperkuat prinsipkonstitusionalisme, demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia, karena memang pengadilan di Mahkamah Konstitusi adalah ranah politik. Jntuk itumenurut pendapat hukum ahli adalah hak konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa perbuatan legislatif yang secara potensil menimbulkan kerawanan politik, sosial sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian bertentangan pula dengan UUD 1945.
sejarawan lnggris, Sir John Robert Seeley (1834-1895), menyatakan bahwa, “history is past politics, politics is present history' atau "sejarah adalah politik masa lalu dan politik adalah sejarah masa kini." Sejarah kerajaan Banggai telah berkembang jauh di abad-abad yang lalu dan telah memiliki raja-raja atau dikenal  masyarakat dengan sebutan: Tomundo (Pemimpin) atau Soosa (Yo Lai Soosa:semua hak privasinya terhadap Raja) atau Tutuu (benar dan amanah), Miantuu(orang asli), sebagai berikut: Maulana Prins Mandapar (1571-1601), Mumbu Doikintom (1602-1630), Mumbu Doi Benteng (1630-1650), Mumbu Doi Balantakmulang (1650-1689), Mumbu Doi Kota (1690-1705), Mumbu Doi Bacan Abukasim (1705-1749), Mumbu Doi Mendono (1749-1753), Mumbu Dot Padangko(1754 - 1763), Mumbu Doi Dinadat Raja Mandaria (1763-1808), Mumbu Doi GalelaRaja Atondeng (1808-1815), Mumbu Tenebak Raja Laota (1815-1831), MumbuDoi Pawu Raja Taja (1831-1847), Mumbu Doi Bugis Raja Agama (1847-1852).
Mumbu Doi Jere Raja Tatu Tonga (1852-1858), Raja Soak (1858-1870), RajaNurdin (1872-1880), Raja H. Abdulazis (1880-1900), Raja H. Abdurrahman0901-1922), Raja Awaluddin (1925-1940), Raja Nurdin Daud (Anak-Anak, hanyaSirnbol), dan Raja HAS.Amir (1941-1957). Sejak raja pertama hingga terakhir dari 21 dinasti Tomundo Kerajaan Banggai dan bahkan hilangnya sistem kerajaan, Dewan Hadat Basalo Sangkap masih diakui masyarakat Banggai secara ices-eluruhan hingga saat ini (baca tahun 2008). Basalo Sangkap inilah sumber dan Dewan Hadat Banggai Kepulauan. Pada UUD 1945 Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 281 ayat (3), dinyatakan bahwa:
1.        Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yangpersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan n dang-und a ng.[Pasal 18B ayat (1)];
2.        Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum 3dat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai dengan Derkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. [Pasal 18B ayat (2)];
3.        identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman. [Pasal 18B ayat (3)].
Pembinaan peradaban dan kebudayaan Banggai Kepulauan supaya selaras :engan perkembangan zaman dirancang harus sesuai dengan konvensi ILO •4tmor 169 Tahun 1986 menyatakan bahwa, "Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, -ienganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di :aerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan -lerupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk —emelihara, mengembangkan„ dan mewariskan daerah leluhur dan identitas e:nik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsunganwe.beradaan mereka sebagai suatu suku. sesuai dengan po/a budaya. lembaga sosial dan sistem hukum mereka."
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 dinyatakan bahwa. "Benda Cagar Sudaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan." Serta diimplementasikan perencanaan berupa tuntutan "Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dipandang perlu mengatur lebih lanjut mengenai penguasaan, pemilikan, pendaftaran,pengalihan, penemuan,pencarian,perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pembinaan, dan pengawasan serta hal-hal lain yang berkenaan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya dengan Peraturan Pemerintah."
Perkembangan "satuan daerah yang bersifat khusus" (amanat UUD 45) untukBanggai Kepulauan harus diperhatikan pembagian wilayah yang bersentuhandengan kedudukan Banggai Kepulauan dalam pemerintahan daerah sebagaiberikut ini:
Pertama, pada awal abad ke-20 (baca: tahun 1908) Hindia Belanda membagidaerah di Indonesia menjadi dua bagian utama yakni daerah yang dikontrollangsung (Rechtsreeksbestuursgebied atau Governements/anden) dan daerah yang tidak langsung dikontrol (Zelfbestuurslandschappen atau Vorstelanden).Daerah yang dikontrol langsung dibagi lagi menjadi afdeelingen dansub bagiannya onder afdeelingen. Daerah Sulawesi Tengah termasuk BanggaiKepulauan masuk dalam wilayah Gubernur Makassar yang terdiri atas AfdelingOost Celebes dan Afdeling of Midden Celebes, meliputi under afdeling-onder afdeling. Pada waktu ini, onder afdeling Kolonodale dan onder afdeling (oa) Banggai masuk dalam wilayah Afdeling Oust Celebes dengan Ibukota di Bau-Bau di Pulau Buton.
Kedua, pada tahun 1919 wilayah Sulawesi Tengah dibagi dua afdeling yakniafdeling Donggala: oa Donggala, Tolitoli, dan Palu; afdeling Poso terdiri atas: oa. Poso; oa. Parigi; oa. Kolonodale; dan oa. Banggai di Banggai.
Ketiga, 1926 lanschaap Banggai dibagi menjadi oa. Banggai Darat di Luwuk dan oa. Banggai Laut di Banggai yang masuk dalam Keresidenan Manado. Keresidenan Manado di Sulawesi Tengah terdiri atas oa. Donggala (Banawa Tawaeli), Palu (Palu, Sigi Biromaru, Dolo, dan Kulawi), Poso (Tojo Una-Una, Poso, Lore), Parigi (Parigi, Moutong), Kolonodale (Mori, Bungku), Banggai (Banggai Darat di Luwuk, Banggai Laut di Banggai), Tolitoli, dan Buol Inilah sumber inspirasi dari pembagian wilayah pemekaran Banggai Kepulauan di tahun 1999. Keempat, 1938 Sulawesi Tengah terdiri atas oa. Donggala (Banawa, Tawaeli), Palu (Palu, Sigi Biromaru, Dolo, Kulawi), Poso (Tojo, Poso, Lore, Una-Una), Parigi (Parigi, Moutong), Luwuk (Kerajaan Banggai Laut di Banggai dan Banggai Darat di Luwuk). dan Tolitoli (Kerajaan Tolitoli). Kelima, 1942 pada pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, distrik diganti menjadi Gun, kepala distrik menjadi Gunco, Raja menjadi Suco dan satu hal yang perlu mendapat catatan adalah Ibukota Banggai dipindahkan ke Luwuk.
Keenam. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 dan SK Gubernur KepalaDaerah Sulawesi Utara Tengah tanggal 4 Februari 1961 Nomor O1/Pem/1961,wilayah Banggai dibagi dalam Kewedanan Banggai Darat dan BanggaiKepulauan. Banggai Darat terdiri atas Kecamatan Luwuk (distrik Luwuk, Batui,Kintom, Bonebabakal. dan Balantak), Kecamatan Teluk Tomini (Bunta,Pagimana). Wilayah Banggai Kepulauan dibagi dalam: Kecamatan Banggai(distrik Banggai, Labobo Bangkurung. dan Totikum), Kecamatan Tinangkung (Distrik Salakan, Buko-Tataba, Bulagi. dan Liang). Ibukota berada di Luwuk.(Machmud, HK., 1986). Ketujuh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan Surat Keputusan Gubemur KDH. Tingkat I Sulawesi Tengah tanggal 15 Januari 1964 Nomor 25/1964 Kabupaten Banggai meliputi wilayah: Kecamatan Labobo Bangkurung Ibukota di Mansalean, Kecamatan Banggai di Banggai. Totikum di Sambiut. Tinangkung di Salakan, Bulagi di Bulagi, Liang di Liang. Buko-Tataba di Buko, Batai di Batui. Bunta di Bunta, Kintom di Kintom, Pagimana di Pagimana, Luwuk di Luwuk, Lamala di Bonebabakal, dan Balantak di Balantak. Sistem ini masih mengikuti pembagian pada zaman kerajaan Banggai dulu yakni tujuh wilayah Banggai Laut dan tujuh wilayah Banggai Darat. Masyarakat Banggai baik di darat maupun di laut mengenal dua kota besar Banggai yakni Kota Banggai dan Kota Luwuk. Kedua kota inilah yang representatif menjadi kota di wilayah dua Banggai. Ibukota Kabupaten Banggai di Luwuk. Sejak tahun 1964 Badan Penuntut Daerah Otonom masyarakat Banggai Kepulauan termasuk Dewan Hadat telah memperjuangkan Pemekaran Banggai untuk membentuk Kabupaten Banggai Kepulauan hingga tahun 1999.
Sumber data : keraton kerajaan Banggaidan lembaga tinggi adat Banggai.
Read more